Saat SMA, saya pernah diajak curhat seorang kawan. Ia bercerita tentang kecemburuannya dengan saya yang saat itu dekat dengan sorang cewek. Sambil makan bubur kacang ijo, kawan tadi bercerita, betapa enaknya hidup saya. Meski tak punya pacar, tapi cewek-cewek bisa dekat dan bercanda tanpa beban.
Ia masih melanjutkan kecemburuannya, bahwa ketika saya tak mengerjakan tugas sekolah dan dihukum guru, ternyata masih bisa mendapat nilai sempurna saat ulangan. Puncak kecemburuannya adalah ketika saya tak bersepatu dan hanya memakai sandal, dengan lengan digulung, tanpa topi dan dasi, harus mengikuti upacara bendera di barisan guru sebagai hukuman.
“Tapi kamu saat itu dipanggil, diumumkan karena juara cerdas cermat. Kamu mbeling tapi dihormati,” katanya.
Saya mencoba memahami kecemburuannya. Saya sendiri sebenarnya jengkel melihatnya secara resmi menjadi pacar dari cewek yang saya taksir, dan…..menolak!!!. Ia anak orang kaya, ke sekolah mengendarai sepeda motor keluaran terbaru atau diantar mobil.
Ia amat mudah mendapatkan apa yang diinginkan. Hal-hal yang mustahil dan amat susah bagi saya, ternyata amat mudah bagi dia. Termasuk menaklukkan hati seorang cewek.
Saya mencoba memahami kecemburuan teman saya ini. Karena kecemburuan yang sama juga saya alami. Ia ganteng, kaya, bersih, dan tampak tertib. Maka, ketika cewek yang saya taksir menolak jadi pacar saya dan memilihnya menjadi pacar, asap bisa mengepul dari ubun-ubun kepala saya.
Saat itu saya sangat sibuk dengan cemburu itu, sehingga lupa pada kerancuan logika saya sendiri. Saya telah mengacaukan sebuah persamaan bahwa yang mudah itu selalu berarti gembira dan yang susah itu selalu berarti sengsara. Sejak kapan berlaku rumus bahwa kemudahan selalu berarti kegembiraan dan kesusahan selalu berarti penderitaan? Padahal ada banyak fakta yang begitu kacaunya, yang amat tidak patuh pada asumsi saya semula itu.
Ketika teman tadi curhat, saya seperti tersadar bahwa ada pihak yang digembirakan oleh kesusahannya dan ada orang yang disengsarakan oleh kemudahannya. Ia memang sukses menjadi pacar cewek yang saya taksir. Namun lebih berfungsi seperti tukang ojek jika ia pulang.
Sementara saya yang ditolak karena kalah ganteng, kalah kaya, dan hanya satu kelebihan saya, yakni lebih dekil, bisa setiap saat berdekatan dengan cewek tadi. Bahkan di kelas duduk kami bersebelahan.
Cewek itu banyak bercerita tentang keluarganya, tentang problema remajanya. Kami sering berdua ngobrol intim tanpa harus ada ikatan sebagai pacar. Sedangkan kawan tadi, meski ada ikatan sebagai pacar, namun hanya bisa memandang cemburu pada saya.
Satu-satunya kelemahan kawan tadi adalah ia mendapatkan semua rezekinya dari orang tuanya. Sementara saya harus kerja keras menjadi kuli di sebuah warung sate agar bisa membayar spp sekolah.
Punya pacar, kaya, ganteng, fasilitas melimpah, itulah hal yang saya cemburui dari kawan tadi. Tapi ternyata kawan yang saya cemburui itu, diam-diam malah sedang cemburu dengan saya.[]
Edhie Prayitno Ige
Penulis, Cerpenis, Guyonis, Tetangganya Pak Prapto